Politik Luar Negeri
Para
pemimpin Indonesia dalam bidang politik khususnya poltik luar negeri lebih
mengedepankan regionalisme dan mempertahankan hubungan persahabatan dengan
pihak Barat. Sikap Indonesia dalam melaksanakan politik luar negeri meliputi penyelesaian
konfrontasi terhadap Malaysia, pembentukan ASEAN, konsep SEANWFZ, Doktrin
Kuantan, EAEG dan AFTA, normalisasi hubungan RI dan RRC, rintisan menjadi GNB,
kerja sama ekonomi Asia-Pasifik, dan Pasukan Indonesia ke Bosnia.
Indonesia
mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia agar Indonesia mendapat kepercayaan dari
pihak Barat, membangun ekonomi Indonesia dari investor asing, juga untuk
menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia tidak melaksanakan kebijakan luar
negeri yang agresif lagi. Indonesia ikut serta dalam pembentukan ASEAN karena
bagi Indonesia, ASEAN sangat penting. Bagi negara anggota ASEAN, ASEAN berguna
dalam pembangunan ekonomi dengan menjalankan stabilitas politik regional.
Dalam
konferensi para menteri luar negeri
ASEAN di Kuala Lumpur menghasilkan gagasan ZOPFAN yang menjadikan kawasan
damai, bebas, dan netral. Lalu Indonesia memberi doktrin lain yaitu SEANWFZ
yang menjadikan kawasan bebas senjata nuklir. Indonesia dan Malaysia memandang
RRC sebagai ancaman karena memberi dukungan bagi partai komunis. Sehingga pihak
Indonesia yaitu Presiden Soeharto bertemu dengan perdana menteri Malaysia
Hussein Onn untuk menghasilkan Doktrin Kuantan. Doktrin ini menawarkan bantuan
kepada Vietnam dan menganggap tekanan Cina mendekatkan Vietnam kepada Uni Soviet
yang dapat membahayakan keamanan regional. Dengan bantuan negara ASEAN, Vietnam
bisa terlepas dari Uni Soviet.
Setelah
kunjungan perdana menteri Cina ke Malaysia, perdana menteri Mahathir Mohamad
mencetuskan ide pembentukan ide EAEG (East Asean Economic Grouping). Tetapi
Indonesia tidak setuju dengan ide tersebut karena dianggap tidak menghargai
Indonesia. Akhirnya Indonesia mengusulkan mengganti istilah “grouping” dengan
“caucus” dan usulan tersebut diterima. Thailand mengusulkan AFTA untuk menghidupkan
kembali ide wilayah perdagangan bebas ASEAN dan Indonesia mendukungnya,
sehingga AFTA akhirnya terbentuk. Bagi Indonesia AFTA membuka peluang untuk
menciptakan investasi yang baik dan mendukung pembangunan nasional.
Hubungan
antara Indonesia dan RRC tidak baik karena RRC mendukung PKI. Tetapi Indonesia
berjanji akan menormalisasi hubungan dengan RRC apabila RRC berhenti memberi
bantuan kepada mantan pimpinan PKI. Hal tersebut membuat adanya kelompok
pronormalisasi dan antinormalisasi. Pemerintah beranggapan untuk tidak
menormalisasi hubungannya dengan RRC, tetapi lama kelamaan pemerintah
memikirkan tentang normalisasi tersebut karena harga minyak jatuh dan minyak
merupakan komoditas utama. Sehingga Presiden Soeharto memutuskan untuk
meluaskan pasar ekspornya, terutama pasaran Cina. Hal ini membuat bingung kadin
(Kamar Dagang dan Industri Indonesia). Lalu Muchtar Kusumaatmaja mengumumkan
kembali membuka perdagangan dengan RRC. Perdagangan langsung berjalan tetapi
tidak lancar tetapi volumenya terus meningkat. Pada peringatan 30 tahun KAA
menteri luar negeri mengumumkan sudah tidak membantu dan mendukung PKI. Hingga
akhirnya Indonesia mengumumkan untuk membuka kembali hubungan diplomatik dengan
RRC. Keputusan normalisasi hubungan Indonesia-Cina ada hubungannya dengan
Soeharto yang ingin berperan lebih banyak dalam politik dunia secara umum dan
wilayah Asia Pasifik secara khusus.
Sebagai
salah satu Negara pemrakarsa berdirinya GNB (Gerakan NonBlok), Indonesia belum
pernah menjadi ketua. Ketika Indonesia menyampaikan keinginannya itu,
tawarannya ditolak karena Indonesia sangat pro Barat. Invasi Indonesia atas
Timor Timur dan penolakan untuk mengizinkan PLO membuka kantornya di Jakarta.
Oleh karena itu, Indonesia melakukan tiga cara yaitu dengan menormalisasikan
hubungan diplomatik dengan RRC karena hal itu dianggap bahwa Indonesia bersifat
nonblok. Indonesia juga melakukan kunjungan ke Uni Soviet sebagai ungkapan
terima kasih selama kampanye Irian Barat. Presiden Soeharto mengunjungi ke
Negara Islam sebagai isyarat supaya Indonesia mendapat dukungan dari Negara
Islam di GNB. Langkah yang dilakukan Indonesia yang ketiga adalah dengan
mengadakan JIM yang diselenggarakan di Bogor dan Jakarta. Tetapi sayangnya hal
tersebut tidak terdapat kesepakatan antara Vietnam dan Kamboja. Hal yang
dilakukan Indonesia menjadi perhatian internasional dan akhirnya masalah
Kamboja dapat diselesaikan dengan ditandatanganinya Pakta Perdamaian di Paris.
Ini membuktikan Indonesia telah berpartisipasi dalam penyelesaian masalah
Kamboja.
Selain
GNB, Indonesia memakai kerja sama ekonomi Asia Pasifik (APEC). Pada awalnya
Indonesia tidak menyetujui APEC karena Indonesia merasa tidak mampu menghadapi
liberalisasi perdagangan yang membuat Indonesia tidak mendapat keuntungan.
Setelah Perang Dingin, Indonesia mengubah pandangannya terhadap APEC karena
Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC berikutnya. Selain itu karena Indonesia
khawatir tertinggal dalam perdagangan bebas. Negara seperti Vietnam dan
Thailand yang sudah melaksanakan perdagangan bebas menghasilkan peningkatan
investasi asing. Indonesia telah berhasil sebagai ketua pertemuan APEC di Bogor
dengan disepakatinya usulan Indonesia tentang batas waktu liberalisasi ekonomi
di kawasan Asia Pasifik. Usulan ini dikenal dengan Deklarasi Bogor. Keberhasilan
Indonesia sebagai ketua pertemuan APEC dan ketua GNB tahun 1992 menandakan
bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional.
Sikap
Indonesia yang terakhir adalah ketika Yugoslavia pecah dan masyarakat Kristen
Serbia menghancurkan masyarakat Islam di Bosnia, ada usulan GNB yang menyebut
Serbia sebagai agressor. Tetapi sebagai ketua GNB, Indonesia tidak sepakat
mengaitkan GNB dengan Islam dan menolak mengirim pasukan perdamaian ke Bosnia.
Pada akhirnya Indonesia melakukan kunjungan ke Bosnia dan mengirim pasukan
penjaga perdamaian. Hal ini karena Presiden Soeharto menanggapi perasaan
masyarakat Islam terhadap penderitaan muslim Bosnia. Perdamaian itu tertuju
pada dukungan Indonesia terhadap Bosnia karena kaitannya dengan posisi
Indonesia sebagai ketua GNB bukan karena OKI. Dalam menghadapi kasus perang
Bosnia, Indonesia menampilkan politik luar negeri secara bijak karena tidak
terlalu berlebihan memandang persoalan internasional. Hal ini menjadikan
Indonesia selaku ketua GNB telah bertidak seharusnya dan tepat dilakukan.
Komentar
Posting Komentar