Wajah Hukum di Indonesia


Wajah hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal tersebut tercermin dari beberapa kasus yang terjadi. Semakin hari, semakin banyak saja yang melakukan tindak korupsi dan suap-menyuap. Kini para pelaku kejahatan seperti tidak memiliki rasa malu atau dapat dikatakan urat malunya sudah putus. Contohnya adalah si A terbukti bersalah korupsi ratusan milyar, tetapi si A masih tetap bisa berjalan bebas di luar penjara tanpa kawalan dari pihak kepolisian, malah terkadang tampak senyam-senyum sendiri seperti tidak punya salah dan sama sekali tidak ada perasaan bersalah sedikitpun. Padahal si A sudah merugikan uang negara sebegitu besarnya. Ironisnya para koruptor yang korupsi ratusan milyar, hanya mendapat hukuman kurungan penjara kurang dari 5 tahun dan denda yang sama sekali tidak dapat menutupi kerugian negara. Terlebih hukuman akan semakin ringan ketika sudah dipotong masa tahanan. Seorang korupsi ratusan milyar hanya denda ratusan juta saja, hal tersebut sangat jauh sekali dengan jumlah uang yang sudah diambil dan dinikmati tersebut. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang yang berani untuk melakukan korupsi arena hukumannya sangat ringan. Jadi selama suatu orang bersalah dan memiliki uang banyak, uanglah yang bicara dan dapat meringankan hukuman tersebut. Jadi sudah tidak ada rasa takut lagi untuk berbuat korupsi.
Masih teringat di pikiranku, pada masa orde baru yang korupsi hanya satu keluarga saja, masyarakat yang lain tidak ada yang berani untuk korupsi. Tetapi sekarang yang korupsi sudah banyak, mulai dari yang tingkat paling bawah hingga tingkat paling atas, dari tingkat RT hingga para wakil rakyat. Semuanya sudah terjangkit virus korupsi. Sehingga dapat diibaratkan, zaman dahulu korupsi masih dilakukan di bawah meja alias sembunyi-sembunyi, tetapi sekarang korupsi sudah dilakukan di atas meja alias sudah terang-terangan. Sungguh memprihatinkan.

Hukum hanya berlaku bagi orang miskin saja, orang kaya sudah kebal hukum ketika uang sudah bicara. Contohnya kejadian yang terjadi tahun lalu di Sinjai, Sulawesi Selatan, seorang kakek yang bernama Rawi terancam hukuman 5 tahun penjara karena mencuri merica seberat 0,5 ons. Di lain kasus, seorang nenek mencuri tiga buah kakao seharga Rp 2.000,00 dan dituntut hukuman 6 bulan penjara. Coba bayangkan, hanya karena mencuri barang yang nilainya tidak seberapa, mendapat hukuman yang berat hingga 5 tahun, tetapi para koruptor yang jelas-jelas mencuri uang negara ratusan milyar hanya mendapat hukuman ringan. Sungguh tidak adil hukum di negara kita tercinta ini.
Pernah suatu ketika, aku membaca sebuah tulisan yang berbunyi, “Di Arab, orang yang mencuri dipotong tangannya, tetapi di Indonesia orang yang mencuri (baca:koruptor) dipotong masa tahanan”. Benar sekali tulisan  tersebut, karena koruptor yang sudah mendapat hukuman ringan dan denda yang tidak seberapa, mendapatkan potongan masa tahanan pula. Seperti dianakemaskan saja si koruptor, wajar jika banyak yang melakukan korupsi.
Jika kita bandingkan dengan kasus nenek yang mencuri tiga buah kakao dengan koruptor, sangat kontras sekali perbedaannya. Ketika kasus BLBI, kasus skandal Bank Century, kasus pajak Gayus Tambunan, kasus suap Wisma Atlet, dan kasus Hambalang mencuat ke permukaan, banyak orang yang membicarakan, mulai dari media cetak hingga media elektronik juga gencar membahasnya, tetapi entah mengapa kasus-kasus tersebut dengan mudah dan cepatnya hilang begitu saja tanpa adanya penyelesaian, bagaikan hilang ditelan bumi. Kasus korupsi tidak pernah tuntas penyelesaiannya, pengungkapannya pun sangat lama dan terkesan ditutup-tutupi. Sedangkan kasus pencurian yang dilakukan orang miskin dengan mudahnya dimasukkan ke penjara dan divonis bersalah.
Walau bagaimanapun kebenaran harus tetap ditegakkan, yang salah harus dihukum dengan hukuman yang setimpal. Yang namanya pencurian, tetaplah pencurian, seberapapun nilai yang dicuri. Hukumannya pun juga harus sesuai dengan jumlah yang dicuritersebut. Memang seorang koruptor tidak dipanggil pencuri, tetapi koruptor merupakan orang yang mencuri uang milik negara, sehingga dapat disebut pencuri juga., hanya levelnya saja yang sudah berbeda.
Entah mengapa persoalan hukum dari waktu ke waktu hanya berjalan di tempat, tidak ada kemajuan sama sekali, tidak pernah berhasil menyelesaikan suatu masalah yang seadil-adilnya. Lebih parahnya lagi, seolah-olah pedang Dewi Keadilan hanya terarah pada orang miskin. Para pencuri kecil mendapat hukuman yang berat, sedangkan pencuri besar, dalam hal ini koruptor ataupun kejahatan kerah putih perbankan bernilai trilyunan rupiah sangat sulit untuk ditangani dan ketika tertangkap kebanyakan mendapat ganjaran yang tidak setimpal karena keringanan hukum yang tidak masuk akal lagi.
Selain itu, ketidakadilan terjadi kembali ketika sebuah tempat tahanan disulap menjadi seperti hotel bintang lima. Hal yang aneh, di penjara terdapat AC, kulkas, bahkan alat perawatan kecantikan juga tersedia. Itu bukannya untuk menghukum seseorang, tetapi untuk memanjakan seseorang. Ada juga tahanan (mafia pajak dan hukum) yang masih bisa plesiran ke Bali pada saat menjalani masa tahanan. Sudah menjadi rahasia umum ketika hukum seringkali diperjualbelikan. Inilah yang menyebabkan hukum bisa direkayasa dan terjadilah pengadilan sandiwara.
Dari fakta yang terjadi tersebut, rasanya masih banyak yang harus dibenahi, mulai dari aparat penegak hukum yang bekerja hingga pegawainya. Hukum di Indonesia sudah mulai retak karena lemahnya perlindungan hukum terhadap masyarakat, belum meratanya tingkat keprofesionalan para penegak hukum, belum memadainya perangkat hukum yang mencerminkan keadilan sosial, sistem peradilan yang dipandang kurang independen, kurangnya konsistensi dalam penegakan hukum, rendahnya kontrol terhadap penegakan hukum. Oleh karena itu, perlu adanya aparatur penegak hukum yang professional, pengguna hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara, adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas, dan tidak memihak, penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan, kemajuan, dan perlindungan HAM, partisipasi masyarakat, mekanisme kontrol yang efektif agar terjadi supremasi hukum yang berkeadilan.
Oleh karena itu sangat diperlukan kesadaran dari diri masing-masing agar tidak tergiur untuk melakukan korupsi karena semua yang kita lakukan dilihat oleh Allah dan nanti akan dipertanggungjawabkan di akhirat atas semua yang kita lakukan. Kiamat sudah dekat, bro!!! Semoga hukum di Indonesia bisa menjadi lebih baik dan lebih adil.

Source :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Boneka dari Kertas

Drama Kesehatan

Judul Jurnal (Referensi Skripsi)